Rabu, 01 Oktober 2014

Menikmati Angkutan Umum dan Jalan Mulus Selama 7 Jam


Mengunjungi Bagan Serai, Bertemu Kulaan Banjar di Malaysia

Setelah terhubung dengan Haji Jamaludin, wartawan koran ini memulai perjalanan menuju kampung Banjar di Bagan Serai, Distrik Kerian, Negeri Perak Darul Ridzuan, Malaysia pada Jumat (30/12).  Perjalanan ditempuh lewat darat dengan menumpang angkutan umum.

Penulis sengaja memilih angkutan umum, untuk merasakan bagaimana layanan umum di negara berpenduduk 27 juta tersebut.  Dari hotel, wartawan koran ini menuju terminal Pudu Raya Kuala Lumpur.  Karena mendapat informasi bahwa bus Trans Nasional menuju Bagan Serai ada tiga kali sehari, yakni pukul 09.00, 15.00 dan 23.00 waktu Malaysia, tidak ada perbedaan waktu dengan Banjar.
Terminal Pudu Raya Kuala Lumpur
Suasana di ruang tunggu terminal masih sepi
Radar Banjarmasin menuju terminal untuk mendapatkan bus pukul 09.00.  Sampai di terminal, begitu turun dari taksi, para perayu tiket (calo) langsung menawarkan jasa.  Namun mereka tidak berani memaksa, begitu melihat penumpang berjalan menuju elevator terminal, mereka tidak berani lagi mengikuti.  Karena di dalam terminal, petugas keamanan selalu mondar-mandir mengawasi.
Terminal Pudu Raya, menjadi pusat pemberangkatan bus dari Kuala Lumpur menuju daerah-daerah yang jauh.  Canggih dan bersih, terminal yang memiliki empat lantai ini dilengkapi dengan fasilitas elevator dan lift untuk mobilisasi dari satu lantai ke lantai lain.  Lantai basement digunakan sebagai tempat mangkal bus yang akan berangkat.  Jadwal keberangkatan bus dari sini tepat waktu.  Jika pukul 09.00, maka penumpang diminta turun dari ruang tunggu yang ada di lantai atasnya,  sepuluh menit sebelum bus berangkat.  Tersedia kursi yang cukup untuk para penumpang dan jam berapapun sampai di terminal ini anda akan merasa nyaman dan aman. 
Di lantai berikutnya adalah tempat loket perusahaan bus menjual tiket.  Di atasnya terdapat pusat perbelanjaan.  Sedangkan lantai tiga digunakan untuk fasilitas umum, diantaranya musala yang cukup luas, parkir dan tempat penitipan barang.  Karena di sini ada peraturan, anda dilarang membawa tas besar ke dalam musala.  Sehingga disediakan fasilitas penitipan dengan membayar 50 sen.

Lantai empat adalah food court, tempat para penjual makanan.  Disini berbagai kedai makan-minum berjejer, bersaing menawarkan makanan.  Kebersihan di tempat ini juga dikelola dengan baik.  Menurut seorang penjual makanan, mereka membayar satu kios seharga Rp6 jutaan, tapi itu sudah termasuk biaya kebersihan, fasilitas listrik dan air.
Kembali ke rute perjalanan menuju Bagan Serai.  Ketika penulis mencari tiket, ternyata bus Transnasional yang menuju Hentian Raya Parit Buntar -terminal terdekat dengan Bagan Serai- ternyata sudah penuh hingga malam.  Sementara bus lain, baru berangkat pukul 10.30.  Tidak ingin membuang waktu menunggu di terminal, oleh petugas counter tiket, disarankan untuk mengambil bus menuju Penang Sentral/Butterworth.  Lalu dari situ naik bus lagi menuju Parit Buntar. 
Tarif RM 31,20 (hampir Rp100 ribu) pun dikenakan untuk rute Pudu Raya-Butterworth sejauh 350 kilometer.  Tapi ternyata, melewati jalur ini perjalanan menjadi lebih lama, 7 jam perjalanan.  Berangkat pukul 09.00 pagi tiba pukul 16.00 sore di Bagan Serai, karena harus berganti bus dari Penang Sentral dan naik taksi dari Parit Buntar.  Padahal jika langsung, waktu tempuh hanya sekitar 4 jam.  Sebagaimana ketika Radar Banjarmasin kembali dari Bagan Serai-Kuala Lumpur, berangkat pukul 01.00 tiba pukul 05.00.

Untungnya, sepanjang rute perjalanan, jalanan mulus dan bus melaju dengan nyaman.  Padahal jalan yang dilewati berbukit dan melewati gunung-gunung.  Tapi rupanya pemerintah Malaysia tidak tanggung-tanggung membuat jalan.  Satu arah dibuat tiga jalur, kemudian antar jalur berlawanan arah dipisahkan pagar yang ditengahnya terdapat parit.  Padahal, jika mengamati jalur yang dilewati, tidak mudah membuat jalan tersebut, tidak sedikit gunung batu yang harus dipapas.  Juga ada terowongan yang harus digali.  Walhasil, sepanjang perjalanan tidak bertemu jalan rusak dan sebagian penumpang pun bisa tidur dengan nyenyak sepanjang perjalanan.
Sampai di Bagan Serai, wartawan koran ini menghubungi Haji Jamaludin Bin Asaari, dari balik telepon pria tersebut meminta waktu 3 menit.  Tidak berapa lama kemudian, sebuah mobil berhenti di depan terminal.  Pria berwajah berkopiah haji, mengenakan sarung, turun dari mobil dan langsung menghampiri wartawan koran ini, yakin, dialah Haji Jamaludin. “Kita naik ka rumah dahulu, istirahat, hanyar ba pusing-pusing (jalan-jalan),” ujar keturunan Banjar yang menjadi pensyarah (dosen) di Fakultas Bahasa Universitas Sultan Idris Malaysia tersebut.
Sepanjang jalan menuju rumahnya, pria ramah ini sangat antusias bercerita tentang orang-orang Banjar yang pernah mengunjungi Bagan Serai.   Kebanyakan adalah urang Banjar yang kebetulan sedang menuntut ilmu di Malaysia.  Sambil menyetir, ia pun menunjukkan identitas Banjar di jalanan Bagan Serai. “Nah, itu Jalan Banjar, kalau ke sana menuju Kuala Kurau,” ujarnya menunjuk papan arah jalan.
Dari jalan besar, menuju rumah Haji Jamaludin, masuk ke jalan beraspal yang lebih kecil, lalu masuk jalan berpasir yang sesungguhnya merupakan tanggul.  Di sisi jalan ada galian parit dan jalan merupakan tanggul yang berpasir putih.  Rumah warga terpisah-pisah, di belakang rumah hamparan sawah menghijau sejauh mata memandang.  Suasananya sangat mirip dengan daerah handil di Gambut, Kabupaten Banjar. 
Dan ternyata, galian parit tersebut ternyata adalah sistem irigasi yang tertata baik.  Ada banyak parit yang mengairi ribuan hektare sawah di daerah tersebut.  Setiap parit memiliki nama, Seperti Parit Haji Ali, Parit Ismail, Parit Husin dan Parit Haji Taib.
“Kemungkinan nama-nama parit ini diambil dari generasi awal yang menghuni daerah sini,” ujar tambahnya. (bin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar